Rasa kecewa dan tak puas bisa menghadapi tiap orang. Bisa perorangan dan juga bisa massal. Bisa sedehana dan bisa dahsyat. Kekecawaan memang dapat berakibat macam-2, dengan kadar berbeda. Kekecewaan yang menumpuk akan berakibat fatal. Apalagi, jika tak hanya melanda perorangan.
Seorang ayah akan kecewa jika melihat anaknya tak menuruti nasehatnya, sang anak kecewa terhadap ayahnya karena tak mengerti kemauannya. Jika berlarut, bisa jadi hubungan kasih sayang ayah-anak terlupakan. Keduanya pun bisa bermusuhan.
Ada anak kecewa terhadap orangtuanya karena permintaan tak dipenuhi. Padahal, boleh jadi bukan materi permintaanya yang ditolak. Tetapi, waktunya yang tidak tepat. Sebaliknya, ada orangtua yang begitu mendengar permintaan anaknya , langsung marah. Padahal, ia sebetulnya tetap akan akan mengabulkan permintaan anaknya. Kemarahannya itu hanya karena memang jiwa sang ayah begitu.
Contoh tersebut memang sekedar karikatur keluarga kurang harmonis. Keluarga Harmonis adalah keluarga yang hidup damai. Seluruh anggota keluarga saling menyayangi dan menghargai. Suka dan duka dihadapi bersama dengan penuh ketulusan.
Itu dalam lingkungan kecil. Dalam lingkungan luas, tentu tak sederhana itu. Dalam hidup bernegara dan berbangsa, persoalan lebih kompleks. Seperti contoh tadi, kita bisa menganalogikan dengan rumah, berbangsa dengan berkeluarga, pemerintah dengan orangtua, dan sekelompok masyarakat dengan anak. Namun, tetap saja kita akan menghadapi hal-hal yang tak sederhana.
Sebagai keluarga besar, perbedaan yang menyangkut kepentingan, sikap, dan pikiran pasti besar pula. Bisakah kita, seperti semboyan kita, tetap satu dalam perbedaan? ataukah kita sudah sulit kembali menjadi manusia biasa yang bersaudara sebangsa, karena kepentingan kita sudah terlanjur menjadi jauh lebih penting daripada kepentingan bersama? Atau, kita sudah terlalu mendewakan diri sendiri?
Betapapun berat, kita tentu mendambakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis, tata tentrem kerta raharja laiknya keluarga idaman. Untuk itu, sebenarnya kita mempunyai modal andal berupa falsafah Pancasila. Sayang, kita hanya menghafalkan saja seperti burung menco.
Selain penghayatan dan pengamalan yang konsekuen terhadap Pancasila, ada hal yang penting perlu dibudayakan dalam kehidupan, yaitu sikap jujur dan adil. Kata adil, berasal dari bahasa arab, ‘adl, yang berarti lurus, atau jejeg dalam bahasa jawa. Menurut istilah santri, meletakkan sesuatu pada tempatnya. Kebaliknya dzalim, yang berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Jadi, adil mencakup segala hal, yaitu baik sikap maupun cara berfikir.
Sikap dan cara berfikir lebih mudah difatwakan ketimbang diamalkan. Soalnya, meski dianugerahi akal dan nurani, kita juga dilengkapi sifat menyukai dan membeci.
Namun, betapapun sulit, sikap dan cara berfikir Adil perlu dibudayakan. Terutama, dikalangan Muslim. Dalam Al Qur’an, Allah berulang menandaskan pentinya ‘Adil’ ini.
Untuk bersikap dan berpikir adil, diperlukan latihan hidup sederhana. Juga kejujuran. Jujur kepada Allah, diri sendiri dan orang lain. Orang tak jujur, sulit dibayangkan berlaku adil. Sementara, jujur itu sendiri memerlukan keberanian, terutama buat mengakui kesalahan. Ini semua memerlukan latihan.