Salah satu blog yang rutin saya kunjungi adalah milik Mas Rony bosnya Manetvision.com sekaligus founder TDA (tangan diatas). Dengan bahasa tulisan yang khas dan mudah difahami, Dia menceriterakan Gaya Hidup Orang Kaya Vs Gaya Hidup Minimalis, selamat membaca.......
Oleh roniyuzirman
Dalam sebuah tayangan di TV saya menyaksikan wawancara dengan Warren Buffett, orang terkaya nomor dua di dunia yang baru saja menghebohkan dunia dengan menyumbangkan hampir 80% kekayaannya untuk sosial (koreksi bila saya salah). Saya tidak akan menceritakan betapa murah hatinya dia, tapi gaya hidupnya itu lho yang membuat saya terpesona.
Ia lahir dan tinggal di kota kecil Omaha, Nebraska, bukan di New York atau pusat bisnis lainnya. Mobilnya sedan biasa saja, bukan Rolls Royce, juga bukan Hummer yang super boros itu. Dan ia menyetir sendiri. Di atas mejanya tidak tampak laptop atau PC satu pun, karena saya dengar ia tidak pernah menggunakan semua itu.
Waktu kuliah dulu saya adalah penggemar Emha Ainun Nadjib. Apa pun bukunya, pasti saya beli. Di mana pun ia hadir dan bicara, pasti saya datangi. Salah satu yang saya ingat sampai sekarang adalah konsepnya tentang “kekayaan”.
Menurutnya, kekayaan itu adalah yang tersisa setelah kita konsumsi “secukupnya”. Apa yang dimaksud dengan “secukupnya” itu? Ia mengibaratkan seekor ayam kampung yang keluar masuk kandang setiap hari mencari makan. Ia hanya makan sesuai daya tampung temboloknya. Berapa pun banyaknya jagung yang disebarkan oleh petani, ia hanya menelan sesuai kemampuannya.
Begitu juga dengan orang kaya menurut pengertian ini. Misalnya, kebutuhan hidupnya adalah Rp. 5 juta per bulan. Ketika penghasilannya Rp. 10 juta, yang dikonsumsi Rp. 5 juta, sisanya ia simpan. Begitu juga ketika penghasilannya naik menjadi Rp. 20 juta, yang ia makan tetap Rp. 5 juta, sehingga yang ia saving adalah Rp. 15 juta. Selisih dari yang dikonsumsi dan disimpan itulah yang disebut kekayaan menurut penulis buku Slilit Sang Kyai yang saya gilai itu.
Di Indonesia, atau kebanyakan kita, yang berlaku adalah kebalikannya. Begitu naik penghasilannya, naik juga kebutuhannya. Kalau dulu cukup dengan mobil dengan cc di bawah 2.000, sekaranga pakai SUV yang sekali isi bensin minimal Rp. 300 ribu. Seorang teman pernah bercerita tentang atasannya yang bergaji Rp. 25 juta, tapi setiap bulan stres karena anggarannya selalu defisit buat nyicil mobil, rumah, biaya salon istrinya, sekolah anaknya yang mahal dan sebagainya. Kebanyakankita, ketika pendapatan naik, naik juga kebutuhannya (baca: keinginan). Kita tidak belajar dari “ayam” tadi.
Saya sendiri tidak luput dari cara mengelola uang seperti itu. Meskipun saya sudah tahan sedemikian rupa, tapi tetap saja kadang-kadang diluar kontrol. Saya punya kebiasaan impulse buying, beli sesuatu tanpa rencana. Berbisnis fashion seperti saya ini mengharuskan untuk sering mengunjungi mal, pasar atau pusat perbelanjaan untuk updating tren terbaru. Godaannya itu, luar biasa. Seperti kemarin, iseng-iseng lihat
stereo set di mal dan langsung beli tanpa berpikir panjang. Tapi itu masih aman selagi dibayar tunai dan tidak dibayar dengan kartu kredit. Gaya hidup berhutang dengan kartu kredit itu sangat berbahaya. Saya ada beberapa teman yang stres dikejar-kejar debt collector karena menggunakan kartu kredit dengan ugal-ugalan.
Kartu kredit itu ibarat api, menjadi teman ketika kecil menjadi monster ketika besar. Saya hanya menggunakan kartu kredit untuk jaga-jaga saja dan tidak digunakan untuk membeli barang konsumtif. Kartu kredit saya gunakan hanya untuk berlangganan TV kabel dan internet. Selebihnya saya lebih suka menggunakan kartu debit.
Kartu kredit pun cukup satu, yang silver dengan limit Rp. 7 jutaan. Tawaran platinum selalu saya tolak, meskipun diiming-imingi plafon yang tinggi dan fasilitas mewah lainnya. Saya tidak ingin “tampak kaya”. Maunya kaya beneran. Hehe…
Majalah Reader’s Digest terbaru memuat tulisan tentang gila belanjanya orang Indonesia. Fenomena membludaknya pemborong sendal Crocs sampai antri 4 jam hanya untuk membayar saja adalah contohnya. Bahkan ada pembeli dari Surabaya yang harus menginap di hotel untuk memperlancar proses hunting sandal ringan yang digilai tua muda ini. Pertumbuhan transaksi kredit konsumsi sampai Mei 2009 naik sampai Rp. 17 triliun dari Rp. 367 triliun menjadi Rp. 384 triliun, sementara kredit investasi hanya naik Rp. 3 triliun dari Rp. 259 triliun menjadi Rp. 262 triliun.
Menurut saya, kelas menengah Indonesia sedang berduyun-duyun masuk perangkap buaya. Perlahan namun pasti suatu saat akan terjadi ledakan, seperti kejadian di Amerika saat ini. Mereka mengira ekonomi fine-fine aja, income stabil, pokoknya gesek aja terus, soal bayar pikirin nanti aja. Tiba-tiba mereka tersadar sudah berada di pinggir jurang yang no turning back.
Fakta menarik di luar negeri sana (Amerika dan Eropa), saat ini sedang terjadi gelombang gaya hidup alternatif, gaya hidup kebalikannya. Mereka mengistilahkannya dengan gaya hidup minimalis, esensial, natural, green living atau apa pun. Intinya adalah gaya hidup sederhana, apa adanya, secukupnya. Mereka rupanya sudah bosan dengan kapitalisasi yang di-drive oleh kebutuhan-kebutuhan semu.
Banyak sekali blog atau website yang menawarkan gaya hidup seperti ini. Salah satunya yang sering saya baca adalah blog Mnmlist besutan Leo Babauta, pemilik blog Zen Habits yang punya ratusan ribu pembaca itu.
Apa itu gaya hidup minimalis? “It’s about stuff, and how it has come to overwhelm us.It’s about distractions and commitments and a neverending task list. It’s about the culture of more, of bigger, of consumption. It’s about how less is the answer”, jelas Leo di blognya.
Saya suka dan kepincut dengan ide ini. Saya merasakan gaya hidup more, more, and more itu mulai menyesakkan. I need an alternative lifestyle. Mungkin inilah jawabannya.
Saya sedang berusaha menuju ke sana, seperti kata Leo dalam blognya.
Ia tidak mengatakan bahwa ia sudah 100% mempraktekkannya. Tapi ia sedang dalam proses menuju ke sana. Masih banyak perilakunya yang kontradiktif dengan prinsip-prinsip minimalis ini. Saya pun demikian. Apalagi selepas Ramadhan ini saya berpikir harus ada sesuatu yang baru yang saya praktekkan sebagai wujud dari berpuasa yang intinya adalah “menahan” itu. Menahan dari segala keinginan, menahan dari segala pemborosan dan sebagainya.
Saat menulis tulisan ini saya begitu bersemangat dan antusias. Bisa-bisa jadi kepanjangan untuk ukuran blog. Makanya saya sudahi dulu.Nanti insya Allah saya sambung lagi.
Roni, Owner Manet Busana MuslimOleh roniyuzirman
Dalam sebuah tayangan di TV saya menyaksikan wawancara dengan Warren Buffett, orang terkaya nomor dua di dunia yang baru saja menghebohkan dunia dengan menyumbangkan hampir 80% kekayaannya untuk sosial (koreksi bila saya salah). Saya tidak akan menceritakan betapa murah hatinya dia, tapi gaya hidupnya itu lho yang membuat saya terpesona.
Ia lahir dan tinggal di kota kecil Omaha, Nebraska, bukan di New York atau pusat bisnis lainnya. Mobilnya sedan biasa saja, bukan Rolls Royce, juga bukan Hummer yang super boros itu. Dan ia menyetir sendiri. Di atas mejanya tidak tampak laptop atau PC satu pun, karena saya dengar ia tidak pernah menggunakan semua itu.
Waktu kuliah dulu saya adalah penggemar Emha Ainun Nadjib. Apa pun bukunya, pasti saya beli. Di mana pun ia hadir dan bicara, pasti saya datangi. Salah satu yang saya ingat sampai sekarang adalah konsepnya tentang “kekayaan”.
Menurutnya, kekayaan itu adalah yang tersisa setelah kita konsumsi “secukupnya”. Apa yang dimaksud dengan “secukupnya” itu? Ia mengibaratkan seekor ayam kampung yang keluar masuk kandang setiap hari mencari makan. Ia hanya makan sesuai daya tampung temboloknya. Berapa pun banyaknya jagung yang disebarkan oleh petani, ia hanya menelan sesuai kemampuannya.
Begitu juga dengan orang kaya menurut pengertian ini. Misalnya, kebutuhan hidupnya adalah Rp. 5 juta per bulan. Ketika penghasilannya Rp. 10 juta, yang dikonsumsi Rp. 5 juta, sisanya ia simpan. Begitu juga ketika penghasilannya naik menjadi Rp. 20 juta, yang ia makan tetap Rp. 5 juta, sehingga yang ia saving adalah Rp. 15 juta. Selisih dari yang dikonsumsi dan disimpan itulah yang disebut kekayaan menurut penulis buku Slilit Sang Kyai yang saya gilai itu.
Di Indonesia, atau kebanyakan kita, yang berlaku adalah kebalikannya. Begitu naik penghasilannya, naik juga kebutuhannya. Kalau dulu cukup dengan mobil dengan cc di bawah 2.000, sekaranga pakai SUV yang sekali isi bensin minimal Rp. 300 ribu. Seorang teman pernah bercerita tentang atasannya yang bergaji Rp. 25 juta, tapi setiap bulan stres karena anggarannya selalu defisit buat nyicil mobil, rumah, biaya salon istrinya, sekolah anaknya yang mahal dan sebagainya. Kebanyakankita, ketika pendapatan naik, naik juga kebutuhannya (baca: keinginan). Kita tidak belajar dari “ayam” tadi.
Saya sendiri tidak luput dari cara mengelola uang seperti itu. Meskipun saya sudah tahan sedemikian rupa, tapi tetap saja kadang-kadang diluar kontrol. Saya punya kebiasaan impulse buying, beli sesuatu tanpa rencana. Berbisnis fashion seperti saya ini mengharuskan untuk sering mengunjungi mal, pasar atau pusat perbelanjaan untuk updating tren terbaru. Godaannya itu, luar biasa. Seperti kemarin, iseng-iseng lihat
stereo set di mal dan langsung beli tanpa berpikir panjang. Tapi itu masih aman selagi dibayar tunai dan tidak dibayar dengan kartu kredit. Gaya hidup berhutang dengan kartu kredit itu sangat berbahaya. Saya ada beberapa teman yang stres dikejar-kejar debt collector karena menggunakan kartu kredit dengan ugal-ugalan.
Kartu kredit itu ibarat api, menjadi teman ketika kecil menjadi monster ketika besar. Saya hanya menggunakan kartu kredit untuk jaga-jaga saja dan tidak digunakan untuk membeli barang konsumtif. Kartu kredit saya gunakan hanya untuk berlangganan TV kabel dan internet. Selebihnya saya lebih suka menggunakan kartu debit.
Kartu kredit pun cukup satu, yang silver dengan limit Rp. 7 jutaan. Tawaran platinum selalu saya tolak, meskipun diiming-imingi plafon yang tinggi dan fasilitas mewah lainnya. Saya tidak ingin “tampak kaya”. Maunya kaya beneran. Hehe…
Majalah Reader’s Digest terbaru memuat tulisan tentang gila belanjanya orang Indonesia. Fenomena membludaknya pemborong sendal Crocs sampai antri 4 jam hanya untuk membayar saja adalah contohnya. Bahkan ada pembeli dari Surabaya yang harus menginap di hotel untuk memperlancar proses hunting sandal ringan yang digilai tua muda ini. Pertumbuhan transaksi kredit konsumsi sampai Mei 2009 naik sampai Rp. 17 triliun dari Rp. 367 triliun menjadi Rp. 384 triliun, sementara kredit investasi hanya naik Rp. 3 triliun dari Rp. 259 triliun menjadi Rp. 262 triliun.
Menurut saya, kelas menengah Indonesia sedang berduyun-duyun masuk perangkap buaya. Perlahan namun pasti suatu saat akan terjadi ledakan, seperti kejadian di Amerika saat ini. Mereka mengira ekonomi fine-fine aja, income stabil, pokoknya gesek aja terus, soal bayar pikirin nanti aja. Tiba-tiba mereka tersadar sudah berada di pinggir jurang yang no turning back.
Fakta menarik di luar negeri sana (Amerika dan Eropa), saat ini sedang terjadi gelombang gaya hidup alternatif, gaya hidup kebalikannya. Mereka mengistilahkannya dengan gaya hidup minimalis, esensial, natural, green living atau apa pun. Intinya adalah gaya hidup sederhana, apa adanya, secukupnya. Mereka rupanya sudah bosan dengan kapitalisasi yang di-drive oleh kebutuhan-kebutuhan semu.
Banyak sekali blog atau website yang menawarkan gaya hidup seperti ini. Salah satunya yang sering saya baca adalah blog Mnmlist besutan Leo Babauta, pemilik blog Zen Habits yang punya ratusan ribu pembaca itu.
Apa itu gaya hidup minimalis? “It’s about stuff, and how it has come to overwhelm us.It’s about distractions and commitments and a neverending task list. It’s about the culture of more, of bigger, of consumption. It’s about how less is the answer”, jelas Leo di blognya.
Saya suka dan kepincut dengan ide ini. Saya merasakan gaya hidup more, more, and more itu mulai menyesakkan. I need an alternative lifestyle. Mungkin inilah jawabannya.
Saya sedang berusaha menuju ke sana, seperti kata Leo dalam blognya.
Ia tidak mengatakan bahwa ia sudah 100% mempraktekkannya. Tapi ia sedang dalam proses menuju ke sana. Masih banyak perilakunya yang kontradiktif dengan prinsip-prinsip minimalis ini. Saya pun demikian. Apalagi selepas Ramadhan ini saya berpikir harus ada sesuatu yang baru yang saya praktekkan sebagai wujud dari berpuasa yang intinya adalah “menahan” itu. Menahan dari segala keinginan, menahan dari segala pemborosan dan sebagainya.
Saat menulis tulisan ini saya begitu bersemangat dan antusias. Bisa-bisa jadi kepanjangan untuk ukuran blog. Makanya saya sudahi dulu.Nanti insya Allah saya sambung lagi.
Salam,
Fadil Arif
Grosir Kerajinan Kulit
Sejuta Pengusaha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar